Selasa, 04 Februari 2020

tasawuf falsafi dan amali


Simbiosis Mutualisme Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Amali Ala Kuswaidi Syafi’i
            Dalam kehidupan bertasawuf, banyak kita dengar perdebatan orang-orang yang bergelut dalam ilmu tasawuf tentang legitimasi tasawuf filosofis dalam praktek tasawuf. Orang-orang yang memegang teguh tasawuf amali, banyak menyangkal keberadaan tasawuf falsafi yang bahkan dikalangan mereka dianggap menyesatkan. Sekarang mari kita pelajari bagaimana Kuswaidi Syafi’i selaku pakar di bidang tasawuf menanggapi fenomena tersebut.
            Kuswaidi Syafi’i atau sering disapa dengan panggilan”Cak Kus” ini memberi jawaban yang sangat padat dan memuaskan dalam menanggapi masalah tersebut. Beliau mengatakan bahwasannya kejadian tersebut merupakan musibah sebuah ilmu.Tatkala sebuah ilmu dipelajari oleh seseorang dan orang tersebut merasa cocok dengan ilmu tersebut, banyak orang membatasi pembelajarannya dalam satu bidang tersebut tanpa mempedulikan bidang lain dan lebih lagi jika orang tersebut sudah mencapai tingkat fanatik dalam hal itu. Lalu menyalahkan adanya referensi atau ilmu yang lain. Seperti beberapa pengikut tasawuf amali yang menolak habis-habisan tasawuf falsafi tanpa tahu manfaat dan tujuan dari tasawuf falsafi tersebut.
            Menurut Cak Kus kedua cabang dari ilmu tasawuf tersebut saling berkaitan dan mendukung satu sama lain. Tasawuf sendiri memiliki pengertian yaitu jalan seorang hamba dalam mengenal dan mendekatkan diri pada Tuhannya.Pengenalan dan perjalanan menuju kedekatan dengan tuhan sangatlah jauh dan berat. Mulai dari membersihka jiwa dari segala keburukan dan maksiat serta mengisinya dengan berbagai macam kebaikan brupa amaln-amalan dan lain sebagainya. Sampai orang yang mempraktekkan tasawuf tersebut bisa merasakan kehadiran tuhan.
            Tasawuf amali berguna untuk membersihkan hati dan mengisinya dengan berbagai kebaikan agar jiwa yang sudah bersih tidak lagi terisi oleh keburukan yang dapat mengitori jiwanya lagi. Tapi, tanpa adanya pemahaman terhadap amalan-amalah itu, kita akan merasakan betapa jauh dan beratnya jalan menuju kedekatan dengan tuhan. Hal ini dikarenakan orang yang hanya mengetahui amala saja tanpa ada pemahaman atasnya, akan menjalankan amalan tersebut sekedarnya dan merasakn keterpaksaan dalam menjalankannya sampai dia merasakan manfaat dari amalan tersebut. Keterpaksaan itulah yang akan merusak keistiqomaha seorang pengamal tasawuf danmenyebabkan jalan seakan jauh dan berat. Disinilah tasawuf falsafi mengambil andil dalam meberi solusi permasalahan tersebut. Tasawuf falsafi membuat jalan jalan yang panjang dan berat tersebut menjadi mudah dan ringan dengan membuat rumusan-rumusan dan penjelasan bagaimana membersihkan dan mengisi jiwa dengan kebaikan guna mendekatkan diri pada Tuhan. Seperti halnya bagaimana Fahruddin Faiz mengajarkan kezuhudan dengan menjelaskan bahwasannya dunia dan seisinya bukanlah tujuan hidup melainkan hanya wasilah atau perantara menuju tujuan sebenarnya yaitu tuhan. Berbeda dengan tasawuf amali yang terkadang hanya tahu tujuan hidupnya hanya tuhan, dan melakukan amalan-amalan yang diberikan gurunya tanpa tahu maksud dan hakikat dari amalan tersebut yang pada akhirnya hanya akan menguji keistiqomahannya. Sebagaimana banyak orang yang mempraktekkan tasawuf dengan wirid-wirid dan amalan yang lain lalu bertarung melawan hawa nafsunya agar bisa terus beristiqomah. Tanpa tahu bahwasannya segala yang ada di dunia ini bisa dijadikan kendaraan untuk menyusuri jalan tmenuju Tuhan. Tidak seperti yang dilakukan tasawuf falsafi yang dapat memudahkan perjalanan menuju kedekatan diri dengan tuhannya.
            Dari sini kita bisa melihat bagaimana keterkaitan dan simbiosis mutualisme antara tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dimana tasawuf amali tanpa mempelajari tasawuf falsafi pasti akan merasa berat karena tidak memahami tujuan dan makna dari amalan yang dilakonnya. Begitu pula dengan tasawuf falsafi yang hanya akan menjadi teori tanpa adanya pengamalan.

Penyembah Akal


Para Penyembah Akal
( Musyrik dengan akalnya )


            Pada masa-masa ini,banyak kita dapati fenomena yang samar terlihat tetapi sangat berbahaya jikalau hal ini dibiarkan begitu saja di kalangan umat muslim dimanapun berada. Banyak orang memahami makna iman dan  islam. Tapi terkadang salah memaknai arti sebuah ibadah yang merupakan konsekwensi dari sebuah keimanan seseorang. Barang siapa beriman kepaAllah maka dia patut taat  dan tunduk kepada-Nya. Tapi yang menjadi masalah sekarang banyak orang menuntut syarat dalam beribadah. Hal ini telah mengganti esensi dari sebuah ibadah yang diperintahkan oleh Allah yang awalnya merupakan sebuah ketaatan menjadi sebuah tuntutan kepada tuhannya.

            Bentuk tuntutan manusia terhadap tuhannya sangat beraneka ragam. Mulai dari tuntutan mendapat materi seperti harta, jabatan, dan lain sebagainya. Selain itu, banyak orang menuntut kebahagiaan tanpa tahu bahwasannya kebahagian itu di dapat tatkala kita sudah mentaati Allah. Tetapi di masa ini manusia lebih menuntut kebahagiaan terlebih dahulu sebelum melakukan ketaatan kepada Allah. Dan yang menjadi fokus pembahasan kali ini adalah tuntutan akal manusia yang terbatas dalam beribadah. Dan memegang ajaran Islam.

            Motivasi tuntutan yang menyerang fikiran umat muslim dalam beribadah ini berawal dari sikap dan mental umat muslim dalam menanggapi sesuatu yang datang dari luar peradaban Islam tanpa pembangunan wawasan sebagai filter terhadap segala yang masuk dari luar peradaban Islam. Peristiwa dark age dan Reinasance,  menjadi momok terbentuknya kosepsi baru terhadap ibadah ini. Perasaan traumatis yang dirasakan kaum Kristen yang telah lama dipolitisasi oleh pihak gereja membuat umat kristiani di barat mengalami Religion phobia atau ketakutan dan keraguan terhadap ajaran agama. Hal inilah yang membuat manusia di kala itu menunjukkan sikap skeptisnya pada agama dan tidak menerima ajaran agama kecuali dapat dipahami dengan akal manusia.

            Sikap skeptic ini lah yang diadopsi umat muslin sekarang tanpa memahami asal dan akar sejarah dari sikap tersebut terhadap agama. Fenomena rasionalisasi agama ini melahirkan banyak musuh islam, mulai dari liberalism, sekulerisme, dan lain sebagainya.

            Pergeseran makna ibadah ini terkadang banyak tidak disadari oleh kalangan umat muslim sendiri. Dikarenakan kurang teguhnya umat muslim dalam memegang ajaran islam yang menyebabkan Taqlid kepada peradaban Barat.

            Peristiwa tersebut membuat umat muslim lebih taat kepada akalnya dan berfikit skeptic kepada agamanya daripada taat kepada tuhannya. serta menuntut segala sesuatu yang diperintahkan Allah harus sesuai dengan akal manusia yang sangat terbatas. Tanpa menyadari bahwsannya segala hal yang tidak bias diterima oleh akal manusia, tetap bias diterima oleh akal sang pencipta.

            Dalam menghadapi fenomena ini, kita sebagai umat muslim harus bersiap-siap dengan segala kondisi yang ada. Dengan membekali diri dan membangun filter dalam diri kita yang berupa wawasan dan pendirian yang teguh dalam berislam.