Peran
Aqidah dan Ibadah dalam Pembentukan Akhlak
Oleh:Mawardi
Dewantara
Bab 1
Pendahuluan
Aqidah,
Ibadah, dan akhlak adalah tiga hal yang berkaitan satu sama lain. Sesunan tiga
hal ini merupakan hubungan sebab akibat, dimana aqidah merupakan landasan
ibadah dan ibadah memberikan dampak pada Akhlak seseorang.
Pada
makalah ini, saya akan mengutarakan peran Aqidah dan ibadah dalam pembentuakan Akhlak
seseorang. Yang pada akhir-akhir ini banyak fenomena seseorang rajin beribadah
tetapi memiliki akhlak yang kurang baik. Fenomena ini juga sering di benturkan
dengan ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwasannya sholat yang merupakan salah
satu ritual ini dapat menghidarkan pelaksananya dari segala perbuatai keji dan
munkar. Dan bahkan banyak orang yang tidak paham tentang hal ini meragukan ayat
tersebut.
Kali
ini saya akan membahas bagaimana ayat tersebut menjelaskan tentang pembentukan
Akhlak seseoran agar terhindar dari perbuatan keji dan mungkar yang banyak
disalah fahami oleh masyarakat muslim di sekitar kita
Rumusan Masalah
a.
Apa itu Aqidah,
Ibadah, dan Akhlak
b.
Bagaimana
hubungan Aqidah, Ibadah,dan Akhlak
c.
Bagaimana
perpaduan aqidah dan ibadah dapat membentuk akhlak seseorang
d.
Apakah maksud
yang terkandung dari surat Al-Ankabut : 45
Tujuan
a.
Menjelaskan
korelasi antara Aqidah, Ritual ibadah, dan Akhlak
b.
Menjabarkan
peran Aqidah, dan Ibadah dalam pembentukan Akhlak
c.
Menjelaskan
makna yang terkandung pada surat Al-Ankabut : 45
Bab 2
Pembahasan
A.
Pengertian
Aqidah, Ibadah, dan Akhlak
Sebelum kita
membahas lebih lanjut tentang tema utama kita kali ini, saya akan menjelaskan
tentang beberapa pengertian yang harus kita ketahui sebelum memulai pembahasan.
Saya
akan memulai dengan pembahasan tentang pengertian dari Aqidah. Qidah dalam
bahasa arab berasal dari kata “Aqada” yang berarti ikatan. Secara istilah,
aqidah
adalah
keyakinan hati akan sesuatu. Manurut T.M Hasbi Ash-Shidiqi, aqidah adalah
urusan yang harus dibenarkan dalam hati dan diterimanya dengan cara puas, serta
tertanam kuat dalam lubuk hati dan tidak dapat di goncangkan dengan badai
subhat.[1]
Hassan Al-Banna mendefinisikan aqidah sebagai sesuatu yang mengharuskan hati
untuk membenarkan, yang membuat jiwa tenang, tentram kepadanya dan yang jadi
kepercayaan bersih dari kebimbangan.[2]
Menurut Ibrahim Muhammad bin Ibrahim al-Burnikan, kata aqidah sudah melalui perkembangan
makna, melalui beberapa tahap, yaitu : tahap pertama, aqidah diartikan sebagai
tekat yang bulat, mengumpulan, niat, menguatkan perjanjian, sesuatu yang
diyakii dan dianut oleh manusia secara benar ataupun salah. Tahap kedua,
perbuatan hati sang hamba. Kemudia aqidah didefinisikan sebagai keimanan yang
tidak mengandung kontra. Yang maksutnya adalah tadak membenarkan bahwa tidak
ada sesuatu selain iman dalam hati sang hamba, tidak diasumsi selain, bahwa dia
beriman kepada-Nya. Tahap ketiga disini aqidah sudah memasuki masa kematangan
dimana dia sudah terstruktur sehingga menjadi sebuah disiplin ilmu dengan ruang
lingkup permasalahan sendiri.[3]Menurut
Sayyid Sabiq pengertian Aqidah islam enam prinsip pokok
1.
Ma’rifat kepada
Allah. Ma’rifat dengan nana-nana-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang
tinggi, juga ma’rifat dengan bukti-bukti wjud dan keberadaannya serta kenyataan
sifat agung-Nya dalam alam semesta dan
dunia ini
2.
Ma,rifat dengan
alam ang ada dibali alam ini,yakni alam yang tidak dapat dilihat.dengan
demikian pula kekuatan-kekuatan kebaikan yang terkandung didalamnya, yaitu
malaikat dan kekuatan jahat yaitu syaitan.
3.
Ma’rifat dengan
kitab-kitab Alla, yang diturunkan oleh-Nya kepada Rosul-rosul-Nya untuk
dijadikan petunjuk menentukan mana yang haq dan mana yang bathil, yang baik dan
buruk, dan yang halal dan haram.
4.
Ma’rifat dengn
Nabi dan Rosul-rosul Allah yang dipilih
oleh-Nya untuk menjadi pembimbing ke arah petunjuk dan pemimpin seluruh makhluk
guna menuju kepada yang haq
5.
Ma’rifat dengan
hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sebagai penanda datangnya
hari akhir serta peristiwa yang terjadi setelah itu.
6.
Ma’rifat dengan
takdir yang diatas itulah berjalan peraturan segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini. Bai dalam penciptaana maupun dalam cara mengaturnya.[4]
Oleh karena
itu, aqidah islam merupaka keyakinan atas sesuatu yang terdapat pada apa yan sering
disebut dengan rukun iman.
Sedangkan pengertian ibadah sendiri dari segi bahasa berasal dari
kata “abdun”. Ibadah dari segi bahasa berarti petuh, taat, setia, tunduk,
menyembah, dan memperhambakan diri pada sesuatu.
Dari segi istilah agama islam pula ialah tindakan, menurut,
mengikut dan mengikat diridengan sepenuhnya kepada syariat yang ditetapkan oleh
Allah yang diserukan oleh para Rosu-Nya. Sama saja berbentuk suruhan ataupun
larangan. Dalam konsep ibadah Nabi dan Rosul sebagai makhluk istimewa yang
selalu senantiasa taat dan patuh kepada Allah selalu memberikan contoh kepada
umatnya yang sering kali dijadikan salah satu jalan atau pun ritual
peribadatan.
Sedangka pengertian dari akhlak sendiri ialah kata yang berasal
dari bahasa arab “Al-Khulk” yang berarti tabiat, perangai, tingkah laku,
kebiasaan, kelakuan. Menurut istilah akhlai ialah sifat yang tertanam di dalam
diri seorang manusia yang bisa mengeluarkan sesuatu dengan senang dan mudah
tanpa adanya suatu pemikiran atupun paksaan. Dalam KBBI akhlak berarti budi
pekerti atau kelakuan. Akhlak secara terminologi berarti suatu tindakan manusia
yang muncu dari keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang
baik. Dalam encyclopedi Brittanica akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang
mempunyai arti sebagai studi yang sistematis tentang tabiat dari pengertian
nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebagainya tentang prinsip umum
dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga dengan
filsafat moral dalam disipli ilmu filsafat.
B. Hubungan Aqidah, Ibadah, dan Akhlak
Tiga hal tersebut
merupakan rantai yang tak bisa dipisahkan dan merupaka suatu bentuk kausalitas.
Oleh sebab itu ketiga hal itu saling menopang dan saling berhubungan satu
dengan yang lainnya
Kita dapat melihat
keterkaitan antara aqidah dan juga ibadah dari hakikat sebuah ritual
peribadatan yang merupakan bentuk konsekwensi sebuah keimanan. Ajaran semua
agama dengan keimanannya masing-masing pasti memiliki konsekwensi dari kepercayaannya
yang sering berbentuk ritual peribadatan. Dari sini kita dapat menarik
kesimpulan bahwasannya keimanan atau aqidah akan saling berkaitan stu sama
lain.[5]
Seorang yang bertauhid dan memegang teguh keimanannya pasti akan
melakukan segala sesuatu yang di teapkan oleh Allah. Termasuk dalam hal ritual
peribadatan. Peribadatan dalam islam tidak terpaku hanya pada ritual-ritua seperti sholat, zakat,
puasa,dll. Islam mengajarkan bahwasannya segala sesuatu yang dilakukan
seseorang dengan landasan keimanan yang benar akan bernilai ibadah berbeda
dengan orang yang melandasi sesuatu tanpa iman atau bahkan salah kepercayaan.
Orang-orang syirik atau dalam kata lain adalah salah kepercayaan sesungguhnya
dia telah melakukan kedzoliman yang sngat besar karena dia tidak menempatkan
orientasi ibadah pada tempat yang tepat yaitu Allah SWT.
Ibadah dalam islam
juga bertujuan melatih, membersihkan, menenangkan jiwa yang berimbas kepada pembentukan
akhlak seseorang. Beberapa contoh peridatan dan dampak dalam pembentukan akhlak
ialah:
Sholat yang merupakan
ibadah harian utama bagi seorang muslim memiliki fungsi yang sangat mulia dalam
pembentuak kontrol internal dan motivasi serta dalam hal pembinaan akhlak,
sholat melatih setiap muslim untuk selalu bertawakal tan selalu memohon
pertolongan pada Allah dalam menghadapi penderitaan hidup. Hal ini menjadikan
seorang musli yang taat memiliki tabiat untuk selalu pantang menyerah dalam
setiap keadaan karena mereka masih memiliki tempat memohon pertolongan dalam
setiap maslah yang dihadapinya.
Zakat merupakan
suatu ibadah yang digabungkan Al-Quran dengan sholat bukan hanya sekedar pijak
finansial yang dipungut dari orang-orang kaya untuk dibayarkan kepada kepada
kaum dhuafa. Ia sesungguhnya merupakan sebuah sarana pensucian dan pemberkatan
dalam pembinaan akhlak, sebagaimana ia merupakan sebuah saran untuk
menyejahterakan kaum dhuafa. Dalam pembentukan akhlak zakat melatih manusia
agar terjauh dari kikir dan tamak harta.
Haji dalam islam
merupakan pelatihan bagi seorang muslim pada pensucian diri,melepaskan diri
dari segala sesuatu selain Allah, ban bersikap mulia untuk menjauh dari
gemerlap dan juga glamor kehidupan. Oleh sebab itu pada ibadah haji diadakan
ihrom yang bertujuan agar manusia memasuki suatu kehidupan yang
tonggak-tonggaknya adalah kesahajaan dan ketawadhuan.[6]
Dalam islam kita diajarkan dan diperintahkan untuk memegang teguh
aqidah islam yaitu tauhid dimana kita patut mempercayai adanya tuhan yang satu
yaitu Allah tanpa ada keraguan sedikitpun. Dalam bertauhid kita selau diarahkan
untuk membina diri agar tercipta akhlak yang mulia.seperti halnya yang
disabdakan Nabi dalam beberapa hadis:
“Barang siapa yang
beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia menyambung tali
silaturahmi, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah
ia tidak mnyakiti tetangganya, dan barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari
akhir maka hendaklah dia mengatakan hal yang baik atau diam,”
“iman itu tuju puluh cabang lebih. Yang paling tinggi adalah iaman
kepada Allah. Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan bahaya dari jalan.
Dan malu itu termasuk dari iman”
“tidaklah seorang yang berzina ketika ia sedang melakukan perbuatan
zina adalah seorang mukmin dan tidaklah seorang mencuru ketika ia sedang
mencuri adalah seorang mukmin dan tidaklah seorang yang minum khamar ketika ia
sedang meminumnya adalah seorang mukmin”
Hadis-hadis itu menunjukkan dengan
jelas bahwasannya dengan ber-aqidah, manusia akan menjdi terbebani oleh ibadah
yang berpotensi untuk mebentuk akhlak yang mulia pada sesorang. Tetapi, akhlak
yang baik tidak akan tumbuh walaupun seseorang melakukan ibadah jika tidak
tertanam keimanan yang kuat pada hatinya. Oleh sebab itu dalam pembentukan
akhlak, yang pertama kali harus dilakukan adalah menanamkan iman pada hati
seseorang sebaik mungkin yang akan mendasari keikhlasan dan kepasrahan dalam
beribadah, jika keikhlasan dan kepasrahan sudah tertanam, kekuatan iman itu
akan semakin kuat ketika diajarkan tentang hakikat sebuah ibadah. Dengan
keikhlasan dan pengetahuannya dalam hal beribadah akan membentuk akhlak
seseorang secara sempurna.
B.
Kandungan
dari surat Al –Ankabut : 45
C.
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
Sebelum membahas tentang kandungan surat ini secara luas, saya akan
membahas beberapa makna dan tafsiran dari beberapa kaliam yang terdapat pada
ayat tersebut
Untuk pertama kali
saya akan membahas tentang makna dari kata “fahsya’” yang terulang dalam Al-Quran sebanyak tuju
kali, Kata “Al-Fhsya’” diambil dari akar yang pada mulanya berarti
sesuatu yang melampaui batas dalam keburukan dan kekejian, baik ucapan maupun
perbuatan. Kekikiran, homoseksual, serta kemusyrikan sering kali ditunjukkan
dengan kata Fahisyah. Sedangkan kata “Munkar” pada mulanya
berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari dalam arti tidak
disetujui. Itu sebabnya Al-Quran sering kali memperhadapkannya dengan kata
ma’ruf yang arti harfiahnya adalah dikenal. Sedangkan ulama mendefinisikan kata
munkar dari segi pandangan syariat, sebagai “segala sesuatu yang
melanggar norma-norma agama dan budaya/adat istiadan suatu masyarakat” dari
definisi ini kita dapat mengetahui bahwasannya makna dari kata munkar lrbih
luas dari kata maksiat.
Dalam tafsiran
secara sederhana, makna yang terkandung dalam ayat ini hanyalah”bahwasannya
sholat yang dilakukan secara benar dapat menghindarkan kita dari segala bentuk
maksiat”. Tetapi yang menjadi permasalahannya sekarang adalah realitas yang
terjadi di masyarakat, orang melakukan sholat tapi tetap saja melakukan
maksiat.
Menanggapi maslah
tersebut beberapa ulama memiliki pendapat masing-masing tentang hal ini. ada
ulama yang menafsirkan dalam segi harfiah, yang berpendapat bahwasannya
kemunkaran mungkin akan lebih banyak terjadi jika sholat tidak di tegakkan. Ada
lagi yang berpendapat bahwa makna sholat dalam ayat ini merupakan makna majazi
yang bermakna doa dan ajakan atau dkwah ke jalan Allah. Seakan-akan ayat
tersebut menyerukan manusia agar ber dakwah dan serta menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar karena itu semua mencegah amanusia melakuakamn kekejian fdan
kemungkaran.
Thabataba’i, ketika menafsirkan ayat ini, menggaris bawahi bahwa perintah sholat
pada ayat ini memiliki sebab karena dengan sholat, manusia dapat terhindar dari
segala macam kemunkaran dan kekejian. Itu berarti, sholat merupakan ibadah yang
pelaksanaannya dapat membangun sifat keruhanian dalam diri manusia yang
menghindarkannya dari kekejian dan kemunkaran, dan menjadikan hati menjadi
bersih dari dosa dan kekejian. Tetapi dampak dari shoalt terkadang tidak muncul
begitu saja. Dan bahkan tidak muncul sama sekali. Hal-hal ini terjadi
dikarenakan adanya hambatan-hambatan yang menghalanginya. Seperti lemahnya
dzikir atau mungkin adanya kelengahan yang menjadiaknnya kurang menghayati
setiap dzikir yang terdapat pada sholat dan menyebabkan seseorang yang sedang
sholat tidak bisa merasakan kehadiran tuhan yang disembahnya. Oleh sebab itu,
tatkala seseorang yang semakin kuat dzikirnya dan sempurna penghayatannya dalam
sholat akan lebih terhindar dari kekejian dan kemunkaran.
Sedangkan kalimat selanjutnya yaitu
“wa la dzikrullahi akbar” yang berarti”dan sesunguhnya mengingat
Allah lebih besar” mekna dari ayat ini adalah sesungguhnya mengingat Allah
adalh inti yang harus lebih dipentingkan dan barangsiapa mejaga sholatnya
dengan baik. Maka hatinya akan selalu mengingat Allah yang maha agung dan
ingatan kepada Allah lah yang dapat menjaga manusia dari segala macam kekejian
dan kemungkaran. Sedang orang yang selalu mengingat Allah akan merasakan
kehadiran-Nya kapan pun dan dimana pun. Bagaimana seseoran melakukan kekejian
didepan sosok yang di agungkan dan disembahnya.disamping itu, dengan merasakan
kehadiran-Nya segala sesuatu akan terasa mudah dan ringan termasuk dalam hal menahan
hawa nafsu.[7]
Dengan kata lain ayat ini harus
difahami secara lengkap dan tidak dapat diptus di tengah. Karena, kalimat إِنَّ
الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ mrupaka sebab dari diperintahkannya sholat sedangkan kalimat وَلَذِكْرُ اللَّهِ
أَكْبَرُ merupakan
substansi yang terdapat pada perintah sholat yaitu mengingat Allah.
Dalam sehari kita diperintahkan untuk melaksanakan shoalt sebanyak lima
kali sehari dan jika kita benar-benar memahami substansi dari sholat dan
mengamalannya, maka tidaklah mungkn kita bisa terjerumus kedalam lubang kemunkaran.
Jadi kita dapat terhindar dari kemunkaran dengan melaksanakan shoal jikalau
kita melaksanakan dengan aqidah dalam hal selalu mengingat serta menyadari
keberadaan Allah dan tata cara beribadah dengan baik dan benar. Dari ayat
tersebut,kita dapat menemukan korelasi dari ketiga hal yang menjadi tema saya
kali ini. dimana akhlak yang dipengaruhi oleh peribadatan yang berupa ritual
serta ritual yang sesungguhnya harus selalu mengikursertakan Aqidah dalam
pelaksanaannya.
Bab 3
Kesimpulan
Jadi, dari beberapa
penjabaran diatas kita dapat maenarik kesimpualn bahwasannya tiga hal yang
menjadi tema saya ini adalah susunan yang tidak bisa dipisahka satu dengan yang
lainnya. Dan memiliki hubungan sebab akibat dimana akhlak merupakan akibat dari
ibadah yang dialandasi aqidah yang benar secara orientasi dan makna
diperintahkannya suatu ibadah.
Sedang peran aqidah
merupakan peran terpenting dalam diantara ketiga hal tersebut karena tatkala
manusia beribadah dengan lendasan aqidah dan pemahaman yang slah pasti akan
membentu akhlak yang kurang baik. Sebaliknya tatkala manusia melakukan
peribadatan denagan landasan aqidah dan pemahaman yang benar niscaya akan
terbentuk akhlak yang terpuji dalam dirinya.
Korelasi tersebut
sebenarnya tercantum pada surat Al-Ankabut ayat 45 yang banyak diasalah artikan
oleh masyarakat awam sekarang.
Referensi
1.
T.M
Hasybi Ash-Shidiqi, Sejarah dn pengantar ilmu tauhid/kalam (Jakarta : Bulan
bintang, 1973) hal. 42
2.
Hassan Al-Banna, Aqidah Islam, (terj) H hasan Al-Baidowi
(Bandung: al maarif, 1983), hal 9
3.
[1] Ibrahim Muhammad bin Abdullah
al-Burnikan,pengantar studi aqidah islam,(jakarta, Rabbani pers, 1998) hal 4-5
4.
Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, (Dipenogoro : Bandung 1989) hal
16-17
5.
Kholid
Muslih, Worl view islam aqidah
6.
Mahmud
Thohir, Kajian Islam Tentang Akhlak dan Karakteristiknya
7.
M.
Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah vol 10 hal 97, Lentera hati, 2002
[1] T.M Hasybi Ash-Shidiqi, Sejarah dn pengantar ilmu tauhid/kalam
(Jakarta : Bulan bintang, 1973) hal. 42
[2] Hassan Al-Banna, Aqidah Islam, (terj) H hasan Al-Baidowi (Bandung: al
maarif, 1983), hal 9
[3] Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Burnikan,pengantar studi aqidah
islam,(jakarta, Rabbani pers, 1998) hal 4-5
[4] Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, (Dipenogoro : Bandung 1989) hal 16-17
[5] Kholid Muslih, Worl view islam aqidah
[6] Mahmud Thohir, Kajian Islam Tentang Akhlak dan Karakteristiknya
[7] M. Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah vol 10 hal 97, Lentera hati, 2002