Selasa, 04 Februari 2020

tasawuf falsafi dan amali


Simbiosis Mutualisme Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Amali Ala Kuswaidi Syafi’i
            Dalam kehidupan bertasawuf, banyak kita dengar perdebatan orang-orang yang bergelut dalam ilmu tasawuf tentang legitimasi tasawuf filosofis dalam praktek tasawuf. Orang-orang yang memegang teguh tasawuf amali, banyak menyangkal keberadaan tasawuf falsafi yang bahkan dikalangan mereka dianggap menyesatkan. Sekarang mari kita pelajari bagaimana Kuswaidi Syafi’i selaku pakar di bidang tasawuf menanggapi fenomena tersebut.
            Kuswaidi Syafi’i atau sering disapa dengan panggilan”Cak Kus” ini memberi jawaban yang sangat padat dan memuaskan dalam menanggapi masalah tersebut. Beliau mengatakan bahwasannya kejadian tersebut merupakan musibah sebuah ilmu.Tatkala sebuah ilmu dipelajari oleh seseorang dan orang tersebut merasa cocok dengan ilmu tersebut, banyak orang membatasi pembelajarannya dalam satu bidang tersebut tanpa mempedulikan bidang lain dan lebih lagi jika orang tersebut sudah mencapai tingkat fanatik dalam hal itu. Lalu menyalahkan adanya referensi atau ilmu yang lain. Seperti beberapa pengikut tasawuf amali yang menolak habis-habisan tasawuf falsafi tanpa tahu manfaat dan tujuan dari tasawuf falsafi tersebut.
            Menurut Cak Kus kedua cabang dari ilmu tasawuf tersebut saling berkaitan dan mendukung satu sama lain. Tasawuf sendiri memiliki pengertian yaitu jalan seorang hamba dalam mengenal dan mendekatkan diri pada Tuhannya.Pengenalan dan perjalanan menuju kedekatan dengan tuhan sangatlah jauh dan berat. Mulai dari membersihka jiwa dari segala keburukan dan maksiat serta mengisinya dengan berbagai macam kebaikan brupa amaln-amalan dan lain sebagainya. Sampai orang yang mempraktekkan tasawuf tersebut bisa merasakan kehadiran tuhan.
            Tasawuf amali berguna untuk membersihkan hati dan mengisinya dengan berbagai kebaikan agar jiwa yang sudah bersih tidak lagi terisi oleh keburukan yang dapat mengitori jiwanya lagi. Tapi, tanpa adanya pemahaman terhadap amalan-amalah itu, kita akan merasakan betapa jauh dan beratnya jalan menuju kedekatan dengan tuhan. Hal ini dikarenakan orang yang hanya mengetahui amala saja tanpa ada pemahaman atasnya, akan menjalankan amalan tersebut sekedarnya dan merasakn keterpaksaan dalam menjalankannya sampai dia merasakan manfaat dari amalan tersebut. Keterpaksaan itulah yang akan merusak keistiqomaha seorang pengamal tasawuf danmenyebabkan jalan seakan jauh dan berat. Disinilah tasawuf falsafi mengambil andil dalam meberi solusi permasalahan tersebut. Tasawuf falsafi membuat jalan jalan yang panjang dan berat tersebut menjadi mudah dan ringan dengan membuat rumusan-rumusan dan penjelasan bagaimana membersihkan dan mengisi jiwa dengan kebaikan guna mendekatkan diri pada Tuhan. Seperti halnya bagaimana Fahruddin Faiz mengajarkan kezuhudan dengan menjelaskan bahwasannya dunia dan seisinya bukanlah tujuan hidup melainkan hanya wasilah atau perantara menuju tujuan sebenarnya yaitu tuhan. Berbeda dengan tasawuf amali yang terkadang hanya tahu tujuan hidupnya hanya tuhan, dan melakukan amalan-amalan yang diberikan gurunya tanpa tahu maksud dan hakikat dari amalan tersebut yang pada akhirnya hanya akan menguji keistiqomahannya. Sebagaimana banyak orang yang mempraktekkan tasawuf dengan wirid-wirid dan amalan yang lain lalu bertarung melawan hawa nafsunya agar bisa terus beristiqomah. Tanpa tahu bahwasannya segala yang ada di dunia ini bisa dijadikan kendaraan untuk menyusuri jalan tmenuju Tuhan. Tidak seperti yang dilakukan tasawuf falsafi yang dapat memudahkan perjalanan menuju kedekatan diri dengan tuhannya.
            Dari sini kita bisa melihat bagaimana keterkaitan dan simbiosis mutualisme antara tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dimana tasawuf amali tanpa mempelajari tasawuf falsafi pasti akan merasa berat karena tidak memahami tujuan dan makna dari amalan yang dilakonnya. Begitu pula dengan tasawuf falsafi yang hanya akan menjadi teori tanpa adanya pengamalan.

Penyembah Akal


Para Penyembah Akal
( Musyrik dengan akalnya )


            Pada masa-masa ini,banyak kita dapati fenomena yang samar terlihat tetapi sangat berbahaya jikalau hal ini dibiarkan begitu saja di kalangan umat muslim dimanapun berada. Banyak orang memahami makna iman dan  islam. Tapi terkadang salah memaknai arti sebuah ibadah yang merupakan konsekwensi dari sebuah keimanan seseorang. Barang siapa beriman kepaAllah maka dia patut taat  dan tunduk kepada-Nya. Tapi yang menjadi masalah sekarang banyak orang menuntut syarat dalam beribadah. Hal ini telah mengganti esensi dari sebuah ibadah yang diperintahkan oleh Allah yang awalnya merupakan sebuah ketaatan menjadi sebuah tuntutan kepada tuhannya.

            Bentuk tuntutan manusia terhadap tuhannya sangat beraneka ragam. Mulai dari tuntutan mendapat materi seperti harta, jabatan, dan lain sebagainya. Selain itu, banyak orang menuntut kebahagiaan tanpa tahu bahwasannya kebahagian itu di dapat tatkala kita sudah mentaati Allah. Tetapi di masa ini manusia lebih menuntut kebahagiaan terlebih dahulu sebelum melakukan ketaatan kepada Allah. Dan yang menjadi fokus pembahasan kali ini adalah tuntutan akal manusia yang terbatas dalam beribadah. Dan memegang ajaran Islam.

            Motivasi tuntutan yang menyerang fikiran umat muslim dalam beribadah ini berawal dari sikap dan mental umat muslim dalam menanggapi sesuatu yang datang dari luar peradaban Islam tanpa pembangunan wawasan sebagai filter terhadap segala yang masuk dari luar peradaban Islam. Peristiwa dark age dan Reinasance,  menjadi momok terbentuknya kosepsi baru terhadap ibadah ini. Perasaan traumatis yang dirasakan kaum Kristen yang telah lama dipolitisasi oleh pihak gereja membuat umat kristiani di barat mengalami Religion phobia atau ketakutan dan keraguan terhadap ajaran agama. Hal inilah yang membuat manusia di kala itu menunjukkan sikap skeptisnya pada agama dan tidak menerima ajaran agama kecuali dapat dipahami dengan akal manusia.

            Sikap skeptic ini lah yang diadopsi umat muslin sekarang tanpa memahami asal dan akar sejarah dari sikap tersebut terhadap agama. Fenomena rasionalisasi agama ini melahirkan banyak musuh islam, mulai dari liberalism, sekulerisme, dan lain sebagainya.

            Pergeseran makna ibadah ini terkadang banyak tidak disadari oleh kalangan umat muslim sendiri. Dikarenakan kurang teguhnya umat muslim dalam memegang ajaran islam yang menyebabkan Taqlid kepada peradaban Barat.

            Peristiwa tersebut membuat umat muslim lebih taat kepada akalnya dan berfikit skeptic kepada agamanya daripada taat kepada tuhannya. serta menuntut segala sesuatu yang diperintahkan Allah harus sesuai dengan akal manusia yang sangat terbatas. Tanpa menyadari bahwsannya segala hal yang tidak bias diterima oleh akal manusia, tetap bias diterima oleh akal sang pencipta.

            Dalam menghadapi fenomena ini, kita sebagai umat muslim harus bersiap-siap dengan segala kondisi yang ada. Dengan membekali diri dan membangun filter dalam diri kita yang berupa wawasan dan pendirian yang teguh dalam berislam.


Sabtu, 25 Januari 2020

Peran Aqidah dan Syariah dalam Pembentukan Akhlak


Peran Aqidah dan Ibadah dalam Pembentukan Akhlak
Oleh:Mawardi Dewantara
Bab 1
Pendahuluan
            Aqidah, Ibadah, dan akhlak adalah tiga hal yang berkaitan satu sama lain. Sesunan tiga hal ini merupakan hubungan sebab akibat, dimana aqidah merupakan landasan ibadah dan ibadah memberikan dampak pada Akhlak seseorang.
            Pada makalah ini, saya akan mengutarakan peran Aqidah dan ibadah dalam pembentuakan Akhlak seseorang. Yang pada akhir-akhir ini banyak fenomena seseorang rajin beribadah tetapi memiliki akhlak yang kurang baik. Fenomena ini juga sering di benturkan dengan ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwasannya sholat yang merupakan salah satu ritual ini dapat menghidarkan pelaksananya dari segala perbuatai keji dan munkar. Dan bahkan banyak orang yang tidak paham tentang hal ini meragukan ayat tersebut.
            Kali ini saya akan membahas bagaimana ayat tersebut menjelaskan tentang pembentukan Akhlak seseoran agar terhindar dari perbuatan keji dan mungkar yang banyak disalah fahami oleh masyarakat muslim di sekitar kita

Rumusan Masalah
a.       Apa itu Aqidah, Ibadah, dan Akhlak
b.      Bagaimana hubungan Aqidah, Ibadah,dan Akhlak
c.       Bagaimana perpaduan aqidah dan ibadah dapat membentuk akhlak seseorang
d.      Apakah maksud yang terkandung dari surat Al-Ankabut : 45
Tujuan
a.       Menjelaskan korelasi antara Aqidah, Ritual ibadah, dan Akhlak
b.      Menjabarkan peran Aqidah, dan Ibadah dalam pembentukan Akhlak
c.       Menjelaskan makna yang terkandung pada surat Al-Ankabut : 45

Bab 2
Pembahasan
A.   Pengertian Aqidah, Ibadah, dan Akhlak

Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang tema utama kita kali ini, saya akan menjelaskan tentang beberapa pengertian yang harus kita ketahui sebelum memulai pembahasan.
Saya akan memulai dengan pembahasan tentang pengertian dari Aqidah. Qidah dalam bahasa arab berasal dari kata “Aqada” yang berarti ikatan. Secara istilah, aqidah        
adalah keyakinan hati akan sesuatu. Manurut T.M Hasbi Ash-Shidiqi, aqidah adalah urusan yang harus dibenarkan dalam hati dan diterimanya dengan cara puas, serta tertanam kuat dalam lubuk hati dan tidak dapat di goncangkan dengan badai subhat.[1] Hassan Al-Banna mendefinisikan aqidah sebagai sesuatu yang mengharuskan hati untuk membenarkan, yang membuat jiwa tenang, tentram kepadanya dan yang jadi kepercayaan bersih dari kebimbangan.[2] Menurut Ibrahim Muhammad bin Ibrahim al-Burnikan, kata aqidah sudah melalui perkembangan makna, melalui beberapa tahap, yaitu : tahap pertama, aqidah diartikan sebagai tekat yang bulat, mengumpulan, niat, menguatkan perjanjian, sesuatu yang diyakii dan dianut oleh manusia secara benar ataupun salah. Tahap kedua, perbuatan hati sang hamba. Kemudia aqidah didefinisikan sebagai keimanan yang tidak mengandung kontra. Yang maksutnya adalah tadak membenarkan bahwa tidak ada sesuatu selain iman dalam hati sang hamba, tidak diasumsi selain, bahwa dia beriman kepada-Nya. Tahap ketiga disini aqidah sudah memasuki masa kematangan dimana dia sudah terstruktur sehingga menjadi sebuah disiplin ilmu dengan ruang lingkup permasalahan sendiri.[3]Menurut Sayyid Sabiq pengertian Aqidah islam enam prinsip pokok
1.      Ma’rifat kepada Allah. Ma’rifat dengan nana-nana-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, juga ma’rifat dengan bukti-bukti wjud dan keberadaannya serta kenyataan sifat agung-Nya  dalam alam semesta dan dunia ini
2.      Ma,rifat dengan alam ang ada dibali alam ini,yakni alam yang tidak dapat dilihat.dengan demikian pula kekuatan-kekuatan kebaikan yang terkandung didalamnya, yaitu malaikat dan kekuatan jahat yaitu syaitan.
3.      Ma’rifat dengan kitab-kitab Alla, yang diturunkan oleh-Nya kepada Rosul-rosul-Nya untuk dijadikan petunjuk menentukan mana yang haq dan mana yang bathil, yang baik dan buruk, dan yang halal dan haram.
4.      Ma’rifat dengn Nabi dan Rosul-rosul Allah  yang dipilih oleh-Nya untuk menjadi pembimbing ke arah petunjuk dan pemimpin seluruh makhluk guna menuju kepada yang haq
5.      Ma’rifat dengan hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sebagai penanda datangnya hari akhir serta peristiwa yang terjadi setelah itu.
6.      Ma’rifat dengan takdir yang diatas itulah berjalan peraturan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Bai dalam penciptaana maupun dalam cara mengaturnya.[4]

Oleh karena itu, aqidah islam merupaka keyakinan atas sesuatu yang terdapat pada apa yan sering disebut dengan rukun iman.

Sedangkan pengertian ibadah sendiri dari segi bahasa berasal dari kata “abdun”. Ibadah dari segi bahasa berarti petuh, taat, setia, tunduk, menyembah, dan memperhambakan diri pada sesuatu.
Dari segi istilah agama islam pula ialah tindakan, menurut, mengikut dan mengikat diridengan sepenuhnya kepada syariat yang ditetapkan oleh Allah yang diserukan oleh para Rosu-Nya. Sama saja berbentuk suruhan ataupun larangan. Dalam konsep ibadah Nabi dan Rosul sebagai makhluk istimewa yang selalu senantiasa taat dan patuh kepada Allah selalu memberikan contoh kepada umatnya yang sering kali dijadikan salah satu jalan atau pun ritual peribadatan.

Sedangka pengertian dari akhlak sendiri ialah kata yang berasal dari bahasa arab “Al-Khulk” yang berarti tabiat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan. Menurut istilah akhlai ialah sifat yang tertanam di dalam diri seorang manusia yang bisa mengeluarkan sesuatu dengan senang dan mudah tanpa adanya suatu pemikiran atupun paksaan. Dalam KBBI akhlak berarti budi pekerti atau kelakuan. Akhlak secara terminologi berarti suatu tindakan manusia yang muncu dari keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Dalam encyclopedi Brittanica akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematis tentang tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebagainya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga dengan filsafat moral dalam disipli ilmu filsafat.

B. Hubungan Aqidah, Ibadah, dan Akhlak
          Tiga hal tersebut merupakan rantai yang tak bisa dipisahkan dan merupaka suatu bentuk kausalitas. Oleh sebab itu ketiga hal itu saling menopang dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya
          Kita dapat melihat keterkaitan antara aqidah dan juga ibadah dari hakikat sebuah ritual peribadatan yang merupakan bentuk konsekwensi sebuah keimanan. Ajaran semua agama dengan keimanannya masing-masing pasti memiliki konsekwensi dari kepercayaannya yang sering berbentuk ritual peribadatan. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwasannya keimanan atau aqidah akan saling berkaitan stu sama lain.[5]
Seorang yang bertauhid dan memegang teguh keimanannya pasti akan melakukan segala sesuatu yang di teapkan oleh Allah. Termasuk dalam hal ritual peribadatan. Peribadatan dalam islam tidak terpaku hanya pada  ritual-ritua seperti sholat, zakat, puasa,dll. Islam mengajarkan bahwasannya segala sesuatu yang dilakukan seseorang dengan landasan keimanan yang benar akan bernilai ibadah berbeda dengan orang yang melandasi sesuatu tanpa iman atau bahkan salah kepercayaan. Orang-orang syirik atau dalam kata lain adalah salah kepercayaan sesungguhnya dia telah melakukan kedzoliman yang sngat besar karena dia tidak menempatkan orientasi ibadah pada tempat yang tepat yaitu Allah SWT.
          Ibadah dalam islam juga bertujuan melatih, membersihkan, menenangkan jiwa yang berimbas kepada pembentukan akhlak seseorang. Beberapa contoh peridatan dan dampak dalam pembentukan akhlak ialah:
Sholat yang merupakan ibadah harian utama bagi seorang muslim memiliki fungsi yang sangat mulia dalam pembentuak kontrol internal dan motivasi serta dalam hal pembinaan akhlak, sholat melatih setiap muslim untuk selalu bertawakal tan selalu memohon pertolongan pada Allah dalam menghadapi penderitaan hidup. Hal ini menjadikan seorang musli yang taat memiliki tabiat untuk selalu pantang menyerah dalam setiap keadaan karena mereka masih memiliki tempat memohon pertolongan dalam setiap maslah yang dihadapinya.
Zakat merupakan suatu ibadah yang digabungkan Al-Quran dengan sholat bukan hanya sekedar pijak finansial yang dipungut dari orang-orang kaya untuk dibayarkan kepada kepada kaum dhuafa. Ia sesungguhnya merupakan sebuah sarana pensucian dan pemberkatan dalam pembinaan akhlak, sebagaimana ia merupakan sebuah saran untuk menyejahterakan kaum dhuafa. Dalam pembentukan akhlak zakat melatih manusia agar terjauh dari kikir dan tamak harta.
Haji dalam islam merupakan pelatihan bagi seorang muslim pada pensucian diri,melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah, ban bersikap mulia untuk menjauh dari gemerlap dan juga glamor kehidupan. Oleh sebab itu pada ibadah haji diadakan ihrom yang bertujuan agar manusia memasuki suatu kehidupan yang tonggak-tonggaknya adalah kesahajaan dan ketawadhuan.[6]
Dalam islam kita diajarkan dan diperintahkan untuk memegang teguh aqidah islam yaitu tauhid dimana kita patut mempercayai adanya tuhan yang satu yaitu Allah tanpa ada keraguan sedikitpun. Dalam bertauhid kita selau diarahkan untuk membina diri agar tercipta akhlak yang mulia.seperti halnya yang disabdakan Nabi dalam beberapa hadis:
            “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia tidak mnyakiti tetangganya, dan barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia mengatakan hal yang baik atau diam,”
“iman itu tuju puluh cabang lebih. Yang paling tinggi adalah iaman kepada Allah. Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Dan malu itu termasuk dari iman”
“tidaklah seorang yang berzina ketika ia sedang melakukan perbuatan zina adalah seorang mukmin dan tidaklah seorang mencuru ketika ia sedang mencuri adalah seorang mukmin dan tidaklah seorang yang minum khamar ketika ia sedang meminumnya adalah seorang mukmin”
Hadis-hadis itu menunjukkan dengan jelas bahwasannya dengan ber-aqidah, manusia akan menjdi terbebani oleh ibadah yang berpotensi untuk mebentuk akhlak yang mulia pada sesorang. Tetapi, akhlak yang baik tidak akan tumbuh walaupun seseorang melakukan ibadah jika tidak tertanam keimanan yang kuat pada hatinya. Oleh sebab itu dalam pembentukan akhlak, yang pertama kali harus dilakukan adalah menanamkan iman pada hati seseorang sebaik mungkin yang akan mendasari keikhlasan dan kepasrahan dalam beribadah, jika keikhlasan dan kepasrahan sudah tertanam, kekuatan iman itu akan semakin kuat ketika diajarkan tentang hakikat sebuah ibadah. Dengan keikhlasan dan pengetahuannya dalam hal beribadah akan membentuk akhlak seseorang secara sempurna.
B.   Kandungan dari surat Al –Ankabut : 45

C.     إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

Sebelum membahas tentang kandungan surat ini secara luas, saya akan membahas beberapa makna dan tafsiran dari beberapa kaliam yang terdapat pada ayat tersebut
          Untuk pertama kali saya akan membahas tentang makna dari kata “fahsya’”  yang terulang dalam Al-Quran sebanyak tuju kali, Kata “Al-Fhsya’” diambil dari akar yang pada mulanya berarti sesuatu yang melampaui batas dalam keburukan dan kekejian, baik ucapan maupun perbuatan. Kekikiran, homoseksual, serta kemusyrikan sering kali ditunjukkan dengan kata Fahisyah. Sedangkan kata “Munkar” pada mulanya berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari dalam arti tidak disetujui. Itu sebabnya Al-Quran sering kali memperhadapkannya dengan kata ma’ruf yang arti harfiahnya adalah dikenal. Sedangkan ulama mendefinisikan kata munkar dari segi pandangan syariat, sebagai “segala sesuatu yang melanggar norma-norma agama dan budaya/adat istiadan suatu masyarakat” dari definisi ini kita dapat mengetahui bahwasannya makna dari kata munkar lrbih luas dari kata maksiat.
          Dalam tafsiran secara sederhana, makna yang terkandung dalam ayat ini hanyalah”bahwasannya sholat yang dilakukan secara benar dapat menghindarkan kita dari segala bentuk maksiat”. Tetapi yang menjadi permasalahannya sekarang adalah realitas yang terjadi di masyarakat, orang melakukan sholat tapi tetap saja melakukan maksiat.
          Menanggapi maslah tersebut beberapa ulama memiliki pendapat masing-masing tentang hal ini. ada ulama yang menafsirkan dalam segi harfiah, yang berpendapat bahwasannya kemunkaran mungkin akan lebih banyak terjadi jika sholat tidak di tegakkan. Ada lagi yang berpendapat bahwa makna sholat dalam ayat ini merupakan makna majazi yang bermakna doa dan ajakan atau dkwah ke jalan Allah. Seakan-akan ayat tersebut menyerukan manusia agar ber dakwah dan serta menegakkan amar ma’ruf nahi munkar karena itu semua mencegah amanusia melakuakamn kekejian fdan kemungkaran.
Thabataba’i, ketika menafsirkan ayat ini, menggaris bawahi bahwa perintah sholat pada ayat ini memiliki sebab karena dengan sholat, manusia dapat terhindar dari segala macam kemunkaran dan kekejian. Itu berarti, sholat merupakan ibadah yang pelaksanaannya dapat membangun sifat keruhanian dalam diri manusia yang menghindarkannya dari kekejian dan kemunkaran, dan menjadikan hati menjadi bersih dari dosa dan kekejian. Tetapi dampak dari shoalt terkadang tidak muncul begitu saja. Dan bahkan tidak muncul sama sekali. Hal-hal ini terjadi dikarenakan adanya hambatan-hambatan yang menghalanginya. Seperti lemahnya dzikir atau mungkin adanya kelengahan yang menjadiaknnya kurang menghayati setiap dzikir yang terdapat pada sholat dan menyebabkan seseorang yang sedang sholat tidak bisa merasakan kehadiran tuhan yang disembahnya. Oleh sebab itu, tatkala seseorang yang semakin kuat dzikirnya dan sempurna penghayatannya dalam sholat akan lebih terhindar dari kekejian dan kemunkaran.
Sedangkan kalimat selanjutnya yaitu “wa la dzikrullahi akbar” yang berarti”dan sesunguhnya mengingat Allah lebih besar” mekna dari ayat ini adalah sesungguhnya mengingat Allah adalh inti yang harus lebih dipentingkan dan barangsiapa mejaga sholatnya dengan baik. Maka hatinya akan selalu mengingat Allah yang maha agung dan ingatan kepada Allah lah yang dapat menjaga manusia dari segala macam kekejian dan kemungkaran. Sedang orang yang selalu mengingat Allah akan merasakan kehadiran-Nya kapan pun dan dimana pun. Bagaimana seseoran melakukan kekejian didepan sosok yang di agungkan dan disembahnya.disamping itu, dengan merasakan kehadiran-Nya segala sesuatu akan terasa mudah dan ringan termasuk dalam hal menahan hawa nafsu.[7]
Dengan kata lain ayat ini harus difahami secara lengkap dan tidak dapat diptus di tengah. Karena, kalimat إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ mrupaka sebab dari diperintahkannya sholat sedangkan kalimat وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ merupakan substansi yang terdapat pada perintah sholat yaitu mengingat Allah.
Dalam sehari kita diperintahkan untuk melaksanakan shoalt sebanyak lima kali sehari dan jika kita benar-benar memahami substansi dari sholat dan mengamalannya, maka tidaklah mungkn kita bisa terjerumus kedalam lubang kemunkaran.
Jadi kita dapat terhindar dari kemunkaran dengan melaksanakan shoal jikalau kita melaksanakan dengan aqidah dalam hal selalu mengingat serta menyadari keberadaan Allah dan tata cara beribadah dengan baik dan benar. Dari ayat tersebut,kita dapat menemukan korelasi dari ketiga hal yang menjadi tema saya kali ini. dimana akhlak yang dipengaruhi oleh peribadatan yang berupa ritual serta ritual yang sesungguhnya harus selalu mengikursertakan Aqidah dalam pelaksanaannya.
Bab 3
Kesimpulan
          Jadi, dari beberapa penjabaran diatas kita dapat maenarik kesimpualn bahwasannya tiga hal yang menjadi tema saya ini adalah susunan yang tidak bisa dipisahka satu dengan yang lainnya. Dan memiliki hubungan sebab akibat dimana akhlak merupakan akibat dari ibadah yang dialandasi aqidah yang benar secara orientasi dan makna diperintahkannya suatu ibadah.
          Sedang peran aqidah merupakan peran terpenting dalam diantara ketiga hal tersebut karena tatkala manusia beribadah dengan lendasan aqidah dan pemahaman yang slah pasti akan membentu akhlak yang kurang baik. Sebaliknya tatkala manusia melakukan peribadatan denagan landasan aqidah dan pemahaman yang benar niscaya akan terbentuk akhlak yang terpuji dalam dirinya.
          Korelasi tersebut sebenarnya tercantum pada surat Al-Ankabut ayat 45 yang banyak diasalah artikan oleh masyarakat awam sekarang.


Referensi
1.      T.M Hasybi Ash-Shidiqi, Sejarah dn pengantar ilmu tauhid/kalam (Jakarta : Bulan bintang, 1973) hal. 42
2.      Hassan Al-Banna, Aqidah Islam, (terj) H hasan Al-Baidowi (Bandung: al maarif, 1983), hal 9
3.      [1] Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Burnikan,pengantar studi aqidah islam,(jakarta, Rabbani pers, 1998) hal 4-5
4.      Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, (Dipenogoro : Bandung 1989) hal 16-17
5.      Kholid Muslih, Worl view islam aqidah
6.      Mahmud Thohir, Kajian Islam Tentang Akhlak dan Karakteristiknya
7.      M. Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah vol 10 hal 97, Lentera hati, 2002



[1] T.M Hasybi Ash-Shidiqi, Sejarah dn pengantar ilmu tauhid/kalam (Jakarta : Bulan bintang, 1973) hal. 42
[2] Hassan Al-Banna, Aqidah Islam, (terj) H hasan Al-Baidowi (Bandung: al maarif, 1983), hal 9
[3] Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Burnikan,pengantar studi aqidah islam,(jakarta, Rabbani pers, 1998) hal 4-5
[4] Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, (Dipenogoro : Bandung 1989) hal 16-17
[5] Kholid Muslih, Worl view islam aqidah
[6] Mahmud Thohir, Kajian Islam Tentang Akhlak dan Karakteristiknya
[7] M. Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah vol 10 hal 97, Lentera hati, 2002